"Kamu itu anak pertama, jangan menikah dengan dia... dia itu anak ke tiga Pak Budi"
Pernah dengar ucapan seperti itu,..Kata orangtua jaman dulu hingga sekarang khususnya didaerah jawa, pasangan yang menikah tak boleh anak pertama dengan anak ke tiga. Entah itu mitos atau memang sudah dilarang.
Mengutip oralucu, mitos ini ternyata memang sudah lama dipercaya oleh masyarakat adat Jawa. Konon, yang melanggar aturan tersebut akan tertimpa oleh hal-hal yang buruk.
Baca Juga : Mitos ini Masih Sering Dipercayai Pada Hubungan Pernikahan
Menurut pandangan islam hal ini tidak dibenarkan. Salah satu yang bisa menjelaskan adalah ustadz ini. Beliau menjelaskan bahwa:
Pertama, soal apakah pernikahan akan sukses atau akan berantakan, itu sama sekali tidak ditentukan oleh posisi calon suami dan calon istri sebagai anak keberapa di dalam keluarga masing-masing.
Tidak ada hubungannya sama sekali. Kalau ada hubungannya dan ada maslahatnya untuk manusia, pasti Islam sebagai agama terakhir sudah mengaturnya, walaupun secara tidak langsung. Sementara, kita tidak menemukan ketentuan semacam itu di dalam hadis-hadis Nabi saw, apalagi di dalam Al-Qur’an, secara eksplisit maupun implisit.
Baca Juga : Mitos Pingitan Ternyata Ada Penjelasan Logis Yang Ternyata Tidak Menakutkan Namun Perlu Diperhatikan
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak kita temukan suami-istri yang merupakan pasangan dari anak pertama dan anak ketiga, dan ternyata kehidupan mereka baik-baik saja dan langgeng. Soal ada masalah-masalah kecil dalam pernikahan, itu biasa, dan semua pasangan suami-istri di dunia ini juga pasti mengalaminya.
Sebaliknya, tidak sedikit juga pasangan yang secara zodiak dinilai cocok, menurut penanggalan Jawa juga sudah pas, tetapi malah berantakan.
Jadi jelas sekali, keberlangsungan sebuah pernikahan bukan ditentukan oleh hal-hal seperti itu, melainkan lebih ditentukan oleh komitmen masing-masing pihak terhadap pasangannya dan, tentu saja, terhadap ajaran agama. Taufik dan hidayah Allah akan menyertai usaha manusia untuk merawat hubungan itu. Ini penting untuk kita pegang teguh.
Kedua, soal rezeki yang akan sulit jika pasangan itu adalah anak pertama dan anak ketiga, itu juga tidak ada hubungannya sama sekali. Rejeki sangat tergantung pada sejauh mana manusianya berusaha, meskipun ada juga yang sudah dijamin oleh Allah tanpa usaha manusia (seperti udara untuk bernapas dan lain-lain).
Terkait dengan syarat kedua, dalam Islam yang terpenting untuk hadir pada akad nikah adalah calon suami, ayah/wali calon istri, dan saksi. Calon istri pun boleh tidak hadir dalam akad nikah dan pernikahan tetap sah.
Andaikata keluarga pihak calon suami Anda tidak hadir dalam akad nikah, itu tidak mempengaruhi sah-tidaknya pernikahan.
Hanya saja, pernikahan bukan hanya soal sah-tidak sah, tetapi juga soal membangun hubungan antara dua keluarga. Saran saya, upayakan melalui orang-orang dekat calon mertua Anda agar mereka tidak terlalu mempersoalkan ihwal anak pertama dan ketiga ini.
Ada yang jauh lebih penting yaitu keteguhan kita berpegang pada ajaran Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Islam sendiri bukannya antibudaya, tetapi justru memberi nilai-nilai tauhid, nilai-nilai kemanusiaan, dan berbagai nilai yang lain pada kebudayaan. Orang dekat itu bisa saja sesepuh keluarga, atau tokoh agama setempat yang disegani oleh ayah calon suami, atau tokoh masyarakat setempat.
Kalau terpaksa, terus saja langsungkan pernikahan walaupun tanpa dihadiri oleh orangtua/keluarga pihak laki-laki. Pernikahan tetap sah walau tanpa dihadiri oleh orangtua pihak laki-laki. Jika ini yang menjadi pilihan, saran saya tidak perlu diadakan secara besar, cukup sederhana dan melibatkan orang-orang terbatas saja.
Banyak orang akan banyak pertanyaan “mengapa”, dan akan sulit menjelaskannya.
Yang tidak kalah penting, mengadulah kepada Allah. Allah tidak pernah mengantuk, apalagi tidur. Saya ikut berdoa semoga Allah memudahkan Anda untuk menjalankan ibadah kepada-Nya.